The Single Currency : GOLD DINAR is the best solution for Muslim Country and African

Kamis, 03 November 2011

Arifin Panigoro, Mengebor Sampai ke Libya

    Sepuluh tahun lalu, satu bom molotov dilempar orang tak dikenal di halaman sebuah rumah di Jalan Jenggala I, Jakarta Selatan. Saat itu, awal 1998, masa genting bagi rezim Soeharto yang sedang menghitung hari kejatuhannya. Arifin Panigoro, pengusaha minyak, tinggal di sana. Dia akrab dengan aktivis mahasiswa. Rumahnya, yang dilempari molotov, adalah tempat singgah para aktivis, setelah lelah turun ke jalan.

      Di tengah ketegangan politik masa itu, tak sulit menebak siapa di belakang pelempar bom dari botol bir tersebut. Indonesia nyaris terbelah dua: pro dan anti-Soeharto. Molotov yang meledak itu memang sempat menyebarkan api, meski tak sampai menghanguskan rumah. Tapi, hari-hari berikutnya, api kemarahan atas kediktatoran kian menyala. Ratusan molotov beterbangan dari tangan para demonstran mahasiswa, yang menahan derap maju kaki tentara.

      Satu dekade kemudian, setelah Soeharto lengser, Arifin Panigoro memang tak tampil menjadi aktor politik nomor satu. Dia hanya anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, lalu menjadi salah satu ketua di Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Kini, Partai Banteng itu pun sudah ditinggalkannya. Dia justru kembali ke dunianya: bisnis minyak.

      Di kancah perminyakan ini, bolehlah Arifin disebut sebagai nomor satu. Lima tahun terakhir, bisnisnya melejit, saat harga minyak dunia mulai merangkak naik. Kini harga minyak melambung tak terkendali. Arifin pun masuk peringkat ke-14 dari 40 orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes Asia. Hartanya ditaksir sekitar US$ 880 juta.

      Adakah kaitan Arifin dengan koneksi politik yang dia bangun? "Saya merintis usaha sejak 34 tahun lalu," ujarnya akhir April lalu. Dia mulai berbisnis sejak lulus dari Jurusan Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung pada 1973. Awalnya, dia memulai dari kontraktor instalasi listrik, lalu beranjak ke proyek pemasangan pipa. Pada 1981, dia masuk ke proyek pipa berdiameter besar dan menggandeng perusahaan asing.

      Dari pengalaman itu, Arifin lalu masuk ke minyak dan debutnya dimulai dari satu kilang di Cilacap. Dia mengakui, pada masa awal berdirinya Medco, perusahaannya banyak dibantu pemerintah untuk menguatkan potensi lokal. Kejayaan Medco dimulai pada 1990, saat dia membeli sumur minyak di Tarakan, Kalimantan Timur. Kilang itu dibeli US$ 13 juta dan mampu memeras minyak 4.000 barel per hari.

      Sejak itu, Meta Epsi Drilling Company alias Medco terus melaju. Dia membeli kilang-kilang tua, termasuk milik PT Stanvac Indonesia. Dari sumur tua itu, Medco mampu memeras jutaan barel. Lalu daya jelajahnya pun meluas, mencakup Afrika Utara dan Timur Tengah. Medco juga pernah bermain di Asia Tengah, seperti Kazakhstan dan Turkmenistan.

      Meroketnya harga minyak adalah berkah bagi Medco. "Coba kalau harga minyak cuma US$ 10 per barel, sudah kapan-kapan bangkrut," ujarnya. Soalnya, kata Arifin, ongkos kirim minyak pakai pipa saja sudah US$ 5 per barel. Maka ladang-ladang minyak itu pun mengalirkan rezeki. Rata-rata total produksi Medco 50 ribu barel per hari. "Paling besar dari ladang di Sumatera Selatan," ujarnya.

      Pendapatan meningkat, keuntungan juga naik tajam. Misalnya, di sektor energi dengan ujung tombak PT Medco Energi Internasional Tbk., laba bersih perusahaan itu naik dari US$ 73,9 juta pada 2004 menjadi US$ 74,7 juta pada 2005. Selain itu, perburuan ladang-ladang baru dikerjakan dengan penuh perhitungan, termasuk menekan ongkos produksi sehemat mungkin.

      Apalagi urusan minyak sulit diterka, tak pernah pasti setiap sumur selalu punya isi. "Perbandingannya 1 : 10. Sepuluh kali ngebor, satu kali berhasil," ujar Arifin. Lain kali, di luar hitung-hitungan itu, ada yang namanya "berkah". Itu terjadi di Libya, misalnya. Di negeri Muammar Khadafi itu, Medco punya sepuluh sumur yang akan digali. Mungkin karena sedang mujur, "Sepuluh sumur, sepuluh mengeluarkan minyak," ujar Arifin. Hasilnya juga cukup besar. "Yang sudah terbukti 300 juta barel, semua dari tujuh sumur," ujarnya.

      Medco pun makin melebarkan sayap. Pada 2004, perusahaan itu mengakuisisi seratus persen saham Novus Petroleum Ltd. dari Australia. Perusahaan Negeri Kanguru itu lincah mengolah blok ladang minyak dan gas di Oman, Qatar, Libya, dan Amerika Serikat. Lalu Medco juga mengincar sumur minyak di Yaman, Tunisia, Aljazair, Uni Emirat Arab, dan Suriah. Ladang itu rencananya akan menaikkan pendapatan Medco dari bisnisnya di luar negeri.

      Medco memantapkan dirinya di bisnis energi. Selain itu, perusahaan yang kini dipimpin Hilmi Panigoro itu mengelola gas. Medco terikat kontrak memenuhi kebutuhan gas PT Perusahaan Listrik Negara dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk. selama 2007-2013 sebesar US$ 627,5 juta. Saat ini kemampuan produksi Medco lebih dari 21 juta barel minyak dan 61 miliar kaki kubik gas per tahun.

      Selain itu, Medco punya beberapa proyek biotermal di Sumatera Utara. Lalu mereka juga mulai merambah ke perkebunan sawit. "Kami masih pemula," ujar Arifin. Tapi, lewat perusahaan holding PT Api Metra Palma, Medco tampaknya cukup serius dengan sawit ini. Anak perusahaannya, PT Sabut Mas Abadi, membangun pabrik pengolahan crude palm oil, dengan kapasitas produksi 30 ton crude palm oil per jam. Sementara itu, PT Meta Epsi Agro menghasilkan 75 ribu ton kelapa sawit setiap musim petik.

      Dengan langkah itu, tampaknya Medco serius mencari sumber energi alternatif. Kini perusahaan itu mulai melirik produksi etanol dari tebu, singkong, atau jagung. Tapi produksi pertanian ini masih ditimbang-timbang, apakah hasilnya untuk energi atau makanan. "Kita menghadapi krisis pangan, tentu ini hal serius," kata Arifin.

      Karena itu, sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan, dia giat mencari solusi bagi dunia pangan. Dia paham isu lingkungan sedang peka dan pangan jadi problem penting. "Saya aktif di padi organik," ujarnya. Usahanya menanam padi itu mulai mendapat hasil ketika panen padi organik dilaksanakan di Cianjur tahun lalu. Di Kalimantan Tengah, Grup Medco juga mulai menanam padi organik di lahan gambut. "Hasilnya, bagus banget," ujar Arifin.

      Di bidang energi, Arifin tampak konsisten. Dia mulai bertandang ke Brasil untuk proyek biofuel. Rencananya, Medco akan melakukan investasi untuk 30 ribu hektare lahan, dengan harga sekitar US$ 200 juta. Dia terkesima dengan cara Brasil mengelola industri pertaniannya. Untuk pabrik etanol, misalnya, berada seribu kilometer di dalam hutan. Brasil rupanya sudah siap dengan infrastruktur untuk menjadi pemasok etanol nomor satu di dunia. "Saya belum tahu apakah jadi berinvestasi ke sana atau hanya di sini," ujarnya.

      Selama sepuluh tahun terakhir, Medco tampaknya juga bergerak di luar sektor energi. Dia membentuk konglomerasi di banyak bidang usaha, misalnya keuangan, perhotelan, makanan, agrobisnis, perkantoran, dan distribusi. Dari sebuah perusahaan kecil instalasi listrik, Arifin Panigoro mengembangkan Medco menjadi perusahaan energi berdaya jangkau dunia. Kini ada sekitar 80 perusahaan di bawah sayapnya.

      Grup Medco

      Energi
    * PT Medco Energi Internasional Tbk.
    * PT Medco E&P Indonesia
    * PT Apexindo Pratama Duta Tbk.
    * PT Medco Methanol Bunyu
    * PT Medco Power Indonesia
    * PT Medco LPG Kaji
    * PT Ethanol Medco Indonesia

      Makanan
    * PT Sentrafood Indonesia
    * PT Sentraboga Intiselera
    * PT Metrix Indonesia

      Kesehatan
    * PT Medex Visi Medika

      Konstruksi dan Fabrikasi Baja
    * PT Multifabrindo Gemilang
    * PT Citra Panji Manunggal

      Hotel
    * PT Meta Archipelago Hotels
    * PT Graha Mas Citrawisata Tbk.
    * PT Bina Intidinamika
    * PT Satria Balitama

      Agrobisnis
    * PT Meta Epsi Agro
    * PT Cipta Tani Kumal Sejahtera
    * PT Sabut Mas Abadi

      Properti
    * PT Graha Niaga Tata Utama

      Keuangan
    * Bank HS1906
    * Sarana Jabar Ventura

Sumber : http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/05/12/LU/mbm.20080512.LU127144.id.html

Comment : Salut untuk Pak Arifin Panigoro yang membuktikan kepada Dunia bahwa Indonesia mampu mandiri mengelola kekayaan alam sendiri dengan tenaga asli anak bangsa... Bravo Pak